Oleh Ketua Dewan Pengawas LKM Masjid Rahmatan Lil Alamin Datuk MYR Agung Sidayu
SECARA pribadi, saya pernah bertemu sekali sebelum DI (Dahlan Iskan) berkunjung ke Alzaytun Indonesia. Saat itu saya bersama dengan Allahyarham Adi Sasono meninjau Percetakan Jawa Pos di Surabaya pada puluh tahun yang lalu.
Ketika saya kembali melihat Dahlan Iskan di usianya yang 71 tahun, saya tidak melihat perobahan yang menyolok walau pun beliau sudah pernah melakukan transpalasi hati di badannya. Bahkan saya sangat kagum dengan caranya lari ke podium saat memberikan sambutan di IAI Al Aziz di kampus Alzaytun Indonesia.
Begitu energik dan insipirative setidaknya bagi saya yang 5 tahun lebih muda. Kemudian menjadi hal baru saat DI memberikan sambutan dari awal sampai makhir sambutannya, tidak di awali dengan salam tradisional tetapi di akhiri dengan salam Nasional MERDEKA!.
Saat pertemuan dengan Syaykh Abdussalam Panji Gumilang, saya menyimak caranya mewancarai Pimpinan Alzaytun Indonesia tersebut. Kemudian membaca semua tulisannya tentang Syaykh Alzaytun dan Alzaytun Indonesia yang di pimpinnya, yang sudah barang tentu tidak bisa dipisahkan bahkan bag seorang Ibu dengan anaknya.
Sesuatu yang di sampaikannya juga dihadapan para wisudawan tentang latar belakang pendidikanny. Lalu pekerjaan professional yang digelutinya, yang mengandalkan kehandalan managerial dan leadership, dan keduanya di peroleh saat DI belajar di Madrasah Aliyah, yakni pembelajaran Ilmu Mantik dan Muhadharah (public speaking). selebihnya sangat bergantung pada pengalaman kehidupan professionalnya yang kemudian menghasilkan apa yang disebut sebagai ” LIFE SKILLS”.
Pesannya secara tidak langsung kepada wisudawan adalah seperti yang dipesankan oleh ratna mutu manikam ” Many can do with academic qualification but more can do with life skills”. Apa yang disampaikannya di bumbui dengan cerita kehidupannya, yang pernah di beri amanah oleh Presiden sebagai Direktur Utama PLN Indonesia kemudian Menteri BUMN
Sebagai seorang jurnalis pengusaha dan pengusaha Jurnalis, DI mampu dengan apik menyampaikan realitas yang di lihatnya di Alzaytun Indonesia, sebagai motivasi positive kepada pimpinan dan komunitasnya, yakni kekagumannya akan proyek pembangunan kapal nelayan dan tujuan utamanya untuk memberdayakan nelayan tempatan yang di motori oleh Syaykh Alzaytun, begitu juga keberhasilan Alzaytun Indonesia dalam swasembada pangan.
DI secara asyeek menyampaikan dalam pidatonya, bahwa impiannya saat menjadi Menteri BUMN terkait dengan pemberdayaan nelayan dan optimalisasi pertanian terjawab oleh Alzaytun Indonesia. Apa yang disampaikan DI setidaknya sudah di lakukan oleh Syaykh Alzaytun yang tentu saja masih dalam skala reseach dan produksi dan jika semuanya di implementasikan dalam skala yang lebih luas, maka akan menjadi lesson learned bagi Indonesia.
Misalnya projek blue ekonomi yang saat ini digeluti dan dipimpin langsung oleh Syaykh Alzaytun, tidak saja bertujuan untuk mendapatkan keuntungan berusaha, tetapi juga sebagai sarana pemberdayaan nelayan (Fishermen empowering) selaras dengan keinginan PBB untuk keberhasilan SDGs.
Sementara untuk proyek pertanian, Syaykh Alzaytun Indonesia telah mengerjakannya bersama sama dengan petani setempat di Indramayu. Dimana telah didirikan organisasi kelompok tani yang diberi nama P3 KPI dengan anggota masyarakat petani setempat, mereka di beri kesempatan untuk menggarap tanah tanah produktif milik Alzaytun Indonesia, dengan fasilitas yang di berikan berupa saprodi, kemudian hasilnya di bagi sesuai dengan perjanjian, sementara hasil para petani dibeli oleh Alzaytun Indonesia dengan harga yang lebih tinggi dari Pagu harga apalagi dibandingkan dengan harga para tengkulak. Para anggota kelompok tani hidupnya menjadi makmur dan lebih dari itu sebagai bukti nyata bahwa keberadaan Alzaytun membawa manfaat bagi masyarakat sekeliling, tidak seperti apa yang disampaikan oleh Saudara Satori Ketua Majelis Ulama Indramayu yang statemennya bertolak belakang dengan realita.
Terkait dengan konstribusi Alzaytun Indonesia kepada masyarakat sekitar , maka bukan hanya upaya upaya usaha tetapi juga yang berkaitan dengan kewajiban keawajiban syar’i Syaykh Abadussalam Panji Gumilang selalu mendahulukan masyarakat sekitar.
Kemudian kepada masyarakat umum yang terkait dengan Alzaytun secara langsung maupun tidak langsung, di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Misalnya untuk Korban di Hari Raya Eidul Adha, Syaykh Alzaytun telah mempersiapkan hewan hewan korban sejak lama, sehingga memudahkan implementasi pada saatnya.
Dalam tulisannya terdahulu DI menyampaikan bahwa apa yang terjadi pada Sholat Eidul Fitri, dimana terdapat sosok wanita dan sosok sahabat beragama Nasrani yang ikut serta menikmati khusuknya penyelanggaraan sholat Eidul Fitri, adalah sesuatu yang dilakukan tanpa pretensi apapun, kecuali bahwa sosok wanita tersebut adalah Isterinya yang sedang berhalangan kesehatannya dan untuk itu duduk di sebelah Dokter Kampus Alzaytun Indonesia, Dr. Dani Kadarisman, sementara sosok yang beragama Nasrani adalah C.H Rabin Manulang sahabat Alzaytun sejak berpuluh tahun, yang pada saat Eidul Fitri tersebut duduk dengan khusuk mempelajari kekhusuan Ibadah Sholat Eid yang diselenggarakan dengan tertib. Dan ini adalah bagian dari implementasi motto “The Center of Education, Peace and Tolerance culture development ” Alzaytun Indonesia.
Dahlan Iskan juga bertanya kepada Syaykh Alzaytun tentang keterlibatannya dengan NII (Negara Islam Indonesia), yang marak di ungkit kembali sebagai point of interest agar menjadi bumbu penyedap fitnah terhadap Syaykh Abdussalam Panji Gumilang dengan satu tujuan agar Ma’had Alzaytun ditutup seperti halnya salah satu Pondok Pesantren di Jombang yang ditutup oleh Menteri Agama dengan gagahnya, kemudian sehari setelah penutupan di buka kembali atas perintah Presiden Joko Widodo dengan berbagai pertimbangan.
Pertanyaan DI kemudian dijawab oleh Syaykh Abdussalam Panji Gumilang dengan gamblang, bahwa NII historically sudah tidak ada sejak tahun 1962, sehingga tidak masuk di akal jika kemudian Alzaytun dikaitkan dengan NII hanya untuk menjastifikasi kesalahan untuk menutup dan mengambil alih Pondok Pesantren ini dengan mudah. Mereka berfikir enteng saja bahwa hanya dengan tuduhan itu mereka dengan mudah mengambil alih dengan terlebih dahulu menutup Alzaytun.
DI mengemasnya dengan apik dalam tulisannya, dengan menyampaikan sejarah perkembangan Pesantren di masa Orde Baru dimana saat itu pemerintah mendirikan organisasi yang bernama GUPPI yang dipimpin oleh Jenderal Sujono Humardani, disebut pula seorang Kyahi ternama bernama K.H. Tahir Wijaya yang secara pribadi saya mengenalnya. Di menceritakan juga bahwa NII adalah ciptaan beberapa sosok yang pada saat itu dekat dengan Jenderal Ali Murtopo yang berseberangan dengan Presiden Suharto dan berusaha menjadikannya sebagai aksesibility untuk menjatuhkannya.
Saat Dahlan Iskan berkunjung ke Alzaytun ada dua hal yang secara gamblang di kagumi, bahkan selama hidupnya baru hari itu, yakni bagaimana DI menyanyikan Lagi Indonesia Raya Tiga Stansa saat senam pagi dan saat pembukaan acara wisuda IAI Al Aziz yang katanya sudah lebih lancar karena ada text dilayar.
Indonesia Raya tiga stansa sebenarnya sudah di rekomendasikan oleh Menteri Pendidikan, tetapi banyak lembaga jika tidak disebut semua kecuali Alzaytun, tidak melakukannya. Sayangnya banyak yang menjadikannya sebagai bumbu penyedap fitnah untuk menjatuhkan Alzaytun, yang dikatakan Santrinya diwajibkan menyanyikan lagi Indonesia Raya karangan Syaykh Alzaytun.
Dengan gaya jurnalisme yang khas, DI sengaja menyampaikannya kepada Masyarakat Bangsa Indonesia, betapa Nasionalisme di ajarkan sedemikian rupa di Alzaytun melalui hal hal yang barangkali sepele saja tetapi sangat bermakna, Nasionalisme dimulai dari kecintaan terhadap lagu kebangsaan, kemudian di wujudkan dalam kehidupan keseharian, jika tidak maka Nasionalisme akan menjadi hambar dan hanya di jadikan tameng untuk saling menyerang dan mengangganggu kedamaian.
Dalam syair Lagu Kebangsaan tiga stansa tersebut diatas, terdapat bait yang menyatakan bahwa Tanah air kita adalah “Tanah yang suci”, yang setiap hari dinyanyikan oleh para santri, dan untuk memantapkan kecintaan terhadap tanah air, Syaykh Alzaytun selalu menyebut Indonesia adalah tanah suci tempat kita semua dilahirkan dan berharap akan di kuburkan didalamnya, hal ini untuk memberikan motivasi kepada para santri agar tidak larut pada keinginan mereka yang pergi haji atau umrah dan berdoa sedemikian rupa agar mereka dimatikan di “Makkah Almukarramah? . Tentu tanpa maksud lebih mensucikan Tanah Air Indonesia dan menguderesitimate Makkah dimana terdapat Ka’bah tempat kita berkiblat saat sholat wajib ataupun sunnah yang berada di dalam Masjidil Haram, yang disebut dalam Alquran 2:144 yang artinya ” Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan”. Tanah Makkah sendiri disebut dalam Alquran sebagai tanah yang dimuliakan (Almukarramah). Sekali lagi sebutan tanah suci untuk Indonesia adalah sebutan motivasi dengan maksud educative, sementara dalam keseharian sholat 5 waktu tentu menghadap ke Baitullah yang berada di Makkah.
DI menyampaikan bahwa ada kebenaran baru yang di era ICT ini berkembang sedemikian luasnya sehingga menyudutkan makna kebenaran yang sesungguhnya, Kebenaran berdasar ” PERSEPSI”, terkait dengan hingar bingar Alzaytun di sosial media, DI memaparkan dengan apik dan menyejukkan tentang Alzaytun, dengan maksud untuk memberikan keseimbangan informasi, yang tentu di pelajarinya dan kemudian di lihatnya secara langsung, satu penyampaian yang sesuai dengan kode jurnalistik yang jujur dan adil, dimana sesorang harus mengimplemtasikan kaidah Journalisme yang harus berusaha untuk secara adil mewakili berbagai sudut pandang dan kepentingan dalam masyarakat dan menempatkannya dalam konteks yang benar dan tidak memprovokasi perdebatan yang saling bertentangan.
Akurasi dan kejujuran juga mensyaratkan agar penyampaian ke masyarakat tidak mengabaikan poin-poin kebenaran yang mampu menyelesaikan kebenaran yang hanya berdasar pada persepsi tersebut diatas..
Sebagai seorang yang berpengalaman, DI menyajikan jurnalisme yang lebih dari sekadar menyediakan pemberitaan atas dasar kebenaran Jurnalistik, tetapi juga menjadikan tulisan dan atau pemberitaan sebagai jalan keluar untuk hingar bingar yang tidak berdasar pada etika Jurnalims yang sehat.
Jurnalisme mengemban tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas penyampaian kepada masyarakat luas, dengan memberikan informasi yang terverifikasi dan ketelitian intelektual. Pemberitaan tanpa memperhatikan fakta akan gagal untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas pemahaman masyarakat atas suatu masalah. Dahlan Iskan dengan gaya tulisannya yang apik dan bisa difahami semua lapisan, telah melakukan tugas jurnalismenya untuk kemaslahatan masyarakat.
Banyak hal yang disampaikan oleh Dahlan Iskan terkait dengan Alzaytun Indonesia dengan jujur dan gaya jurnalism khas DI, yang kesemuanya mengingatkan saya pada apa yang disampikan oleh Prof.Dr.Tariq Ramadhan tentang “Islamopobhia” yang melanda dan atau disasarkan kepada Ummat Islam, yang harus di tanggapi dengan bijak dan tidak emosional yang pada akhirnya tercapai tujuan pihak pihak yang menginginkan perpecahan ummat dan berakhir dengan ketidak mampuan ummat Islam menghadapi tantangan nyata di hadapannya.
Pada akhirnya saya teringat akan apa yang disampaikan oleh Menteri Agama Jenderal Alamsyah Ratu Prawira Negara ” Bahwa ummat Islam itu seperti ayam kampung, ada hajatan, ada upacara kematian, hajatan kecil dan besar, ayam dipotong, dijadikan opor, soto kemudian habis dilahap dan ayam dilupakan. (Indra Mahedi)