28.8 C
Indramayu
Sabtu, 15 Februari 2025

Urgensi Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi yang Dijamin Negara

JAKARTA, indramayunews.id- Setiap tahun, angka kasus kekerasan seksual semakin meningkat, namun kebutuhan korban kekerasan seakan diabaikan. Korban kekerasan seksual membutuhkan layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif dan dapat dijangkau.

Pernyataan itu disampaikan Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Nanda Dwinta Sari pada acara diskusi publik bertema Menelusuri Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi Dalam Lanskap Kebijakan pada tanggal 23 Agustus 2023 pada Kamis (24/08/2023) di Jakarta.

Nanda menjelaskan, meskipun kebijakan pemerintah telah ada akan tetapi upaya perlindungan, penanganan dan pemulihan khususnya dari aspek kesehatan korban masih belum maksimal mengakomodir kebutuhan korban. Terutama untuk kasus kekerasan seksual atau perkosaan yang mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).

Sejumlah kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah terkait pemenuhan pelayanan Kesehatan Seksual & Reproduksi (KSR). Termasuk aborsi aman terkendala implementasinya. Hal ini, lanjut dia, karena selalu menjadi pro dan kontra sehingga pelaksanaan pelayanan aborsi aman bagi korban perkosaan atau kekerasan seksual masih terhambat atau belum bisa diakses.

Layanan aborsi aman merupakan bagian dari pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR. Juga bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal komponen HKSR berasal dari komponen-komponen HAM;.

Diantaranya hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk mendapatkan privasi, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan hak untuk terbebas dari diskriminasi. Artinya perempuan mempunyai hak untuk bebas dari resiko kesakitan dan kematian karena kehamilan.

“Akibat dari tindak pidana perkosaan, seorang korban perkosaan akan menderita secara fisik, mental, dan sosial. Kehamilan akibat perkosaan akan memperparah kondisi mental korban yang sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa perkosaan tersebut,”imbuhnya.

Ditambahkannya, trauma mental yang berat juga akan berdampak buruk bagi perkembangan janin yang dikandung korban. Oleh karena itu, ada korban perkosaan yang mengalami reaksi penolakan terhadap kehamilannya dan menginginkan untuk melakukan aborsi,” sambungnya.

Menyikapi hal tersebut, YKP menganggap perlu adanya layanan aborsi aman dimana negara juga harus melindungi warganya. Terutama mereka yang perlu melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan akibat perkosaan, serta melindungi perempuan dan tenaga medis yang melakukannya tanpa dikriminalkan.

Dalam konteks hukum, aborsi telah diatur di berbagai aturan hukum Indonesia, namun aturan hukum tersebut inkonsisten. Di satu sisi hukum mengatur aborsi sebagaimana dalam pasal 75 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan turunannya, PP Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

PMK Nomor 3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan termasuk kebijakan yang baru disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 yaitu Undang-Undang No 17 tahun 2023 tentang Kesehatan.

Menurut dr. Astuti, MKKK dari Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Ia menegaskan bahwa penanganan reproduksi ini Kemenkes tidak bisa bekerja sendiri dan harus lintas sektor.

Untuk itu,kata Astuti, di dalam turunan UU No 17 tahun 2023, dimasukkan peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta peran dari masyarakat dan keluarga, jadi upaya pencegahan sampai pemulihan ini bisa sangat komprehensif.

Namun khusus permasalahan layanan aborsi, dirasa makin pelik karena kurangnya pemahaman aparat penegak hukum (APH) terkait situasi KTD, minimnya sensitivitas APH terhadap korban kekerasan seksual yang justru menjadikan APH memutuskan pelaku aborsi untuk dipidanakan.

Mereka tanpa melihat akar persoalan yang telah diuraikan sebagaimana fakta di awal. Secara terpisah Ema Rahmawati selaku Kepala Unit PPA Bareskrim Polri menerangkan memang masih menjadi kendala terutama terkait dengan layanan kesehatan seksual dan reproduksi.

Terutama korban kekerasan seksual, karena masih harus menunggu turunan dari Undang-undang yang telah berlaku, karena di teknisnya seperti UU No 17 akan ada di Peraturan Pemerintah (PP). “Semoga PP nanti bisa mengakomodasi semua kebutuhan dalam pelayanan korban kekerasan seksual,”ambung Ema.

Permasalahan ini harus menjadi perhatian semua pihak terutama pemerintah. “Kebijakan yang sudah ada selama ini, belum menjadi terobosan yang menjawab permasalahan kesehatan seksual dan reproduksi, khususnya korban kekerasan.”

Ratna Batara Murti selaku Koordinator Advokasi Kebijakan Nasional – Asosiasi LBH APIK Indonesia. Ia menuturkan banyak faktor yang menjadikan kebijakan tersebut belum menjawab permasalah kesehatan seksual dan reproduksi, diantaranya adanya tekanan “politik moralitas” yang membelenggu terobosan yang efektif dalam kebijakan selama ini.

Bahkan harmonisasi antara Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru masih perlu pembahasan lebih lanjut.
“Yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat dan daerah tentang pelayanan aborsi aman bagi korban kekerasan seksual adalah harus sudah menunjuk tempat pelayanannya, apakah rumah sakit pemerintah atau daerah.”tegasnya.

Retty Ratnawati mewakili Komnas Perempuan mengakui sudah waktunya juga merubah sistem pendidikan kedokteran dan sumpah dokter terutama yang berhubungan dengan hak korban kekerasan seksual,”pungkasnya. (jam/rls)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

10,540FansSuka
1,787PengikutMengikuti
1,871PelangganBerlangganan

Latest Articles