Jabar Segera Bentuk Majelis Masyayikh Tingkat Provinsi
KOTA BANDUNG, indramayunews.id – Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat (Jabar), Uu Ruzhanul Ulum, menyebut bahwa Pemerintah Daerah Provinsi (Pemdaprov) Jabar akan segera membentuk Dewan Pengawas Pesantren (DPP) atau dapat pula disebut sebagai Majelis Masyayikh.
Menurut Panglima Santri Jabar, hal itu penting guna meningkatkan pengawasan terhadap pondok pesantren di Jabar. Sehingga hadir pendidikan pesantren yang bermutu dengan memperhatikan aspek sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana di pondok pesantren.
Terlebih fenomena menyimpang belakangan, termasuk kasus viral kejahatan seksual, sempat pula menyeret nama baik pesantren meskipun sebenarnya kejadian buruk itu tidak terjadi di lingkungan pondok pesantren.
Sehingga aktivitas pendidikan di pondok pesantten pun mau tidak mau perlu pengawasan pula dari unsur Pemerintah. Ini pun tak lain demi hadirnya Pesantren yang layak santri.
“Jadi dengan (fenomena) yang sekarang ini, Pemerintah Provinsi dan saya sudah berkomunikasi dengan Pak Gubernur, Kementerian agama , dan lainnya. Kami akan segera melakukan langkah- langkah kedepan berpayung kepada Perda Pesantren,” ungkap Uu, di Kota Bandung, Minggu (12/12) kemarin.
Menurut Wagub Jabar, Dewan pengawas pesantren (DPP) ini akan dibentuk berlandaskan Undang- undang pesantren nomor 18 tahun 2019, serta tentunya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2021 tentang fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren.
Dengan payung hukum yang ada, maka DPP, atau Majelis Masyayikh akan dibentuk guna menjaga kualitas dan lebih jauh memperkokoh marwah Pondok Pesantren di Jawa Barat khususnya.
“Sekarang seluruh kelembagaan ada dewan pengawasnya, misalnya rumah sakit, perbankan, pendidikan semuanya ada dewan pengawas. Kalau masuk ke pesantren memang ‘agak was- was,’ tetapi dengan tuntutan seperti ini (fenomena) banyak yang mengatasnamakan pesantren padahal tidak layak mendirikan pesantren, maka kami berinisiatif untuk membuat lembaga DPP di Jawa Barat, jadi nanti tidak lebih jelas lagi,” tutur Dia.
Lebih jauh, Uu menyebut bahwa DPP/ Majlis Masyayikh dibentuk tingkat Provinsi dan kemudian akan dirambatkan lagi ke tingkat Kabupaten/ Kota.
Sementara anggotanya merupakan kolaborasi dengan berbagai elemen. Mulai dari unsur Pemerintahan, Ormas Islam, MUI, serta pemangku kepentingan di bidang keagamaan maupun keumatan lainnya di Jawa Barat.
“Ini salah satu langkah daru pemerintah provinsi Jabar dalam menghadapi (fenomena) sekarang,” tegas Uu.
Pun Dirinya berharap lembaga ini dapat secepatnya terbentuk. Sehingga di tahun 2022 semua aktifitas terkait pesantren sudah bisa dilaksanakan. “Minggu depan insha Allah khalaqah, mengundang Kiyai, Ulma, termasuk Biro Kesra se- Kabupaten/ Kota, dan MUI, serta ormas Islam dan juga Kemenag itu sendiri sebagai kepanjangan Pemerintah Pusat di bidang keagamaan,” jelas Uu.
Terpenting, terbangun komunikasi antara Pemerintah dengan pihak pesantren. Sehingga keduanya dapat saling memberi masukan.
Apalagi diketahui di Jawa Barat terdapat tak kurang dari 12 ribu Pondok Pesantren. Maka DPP atau majlis Masyayikh dibutuhkan agar kenjadi wadah bagi para kyai, atau pengrus pondok pesantren guna merumuskan standar kerangka sebagai acuan bagi pesantren-pesantren dalam proses belajar mengajarnya.
“Pertama, kalau seseorang ingin mendirikan pesantren itu harus ada rekomendasi dari ormas Islam termasuk di dalamnya adalah MUI, atau Kiyai setempat, apakah dia itu layak untuk diberikan dorongan dan dukungan untuk bikin pondok pesantren atau bagaimana,” sambung Dia.
“Termasuk ormas Islam dan kiyai mengetes apakah dia bisa ngaji atau dia, bisa baca kitab gundul, tafsir, hadist, nahwu shorof, balaghah. Jangan sampai dia tidak paham ilmu agama, tidak paham ngaji mendirikan pesantren, atau judulnya pesantren dalamnya bukan pesantren, maka harus ada rekomendasi,” sambung Uu.
Tak kalah penting yakni, soal sarana pendukung agar pesantren ramah santri,”Pesantren itu sarana prasarananya, layak tidak untuk santri, layak tidak untuk anak didik. Jangan sampai mengatas namakan pesantren tapi sarana dan prasarananya tidak layak unruk proses belajar mengajar, secara kepatutan jangan sampai anaknya banyak siswanya tapi sarananya tidak mendukung, istilahnya layak santri,” tuturnya. (Rls/tim)