Foto istimewa
INDRAMAYU, indramayunews.id – Bagi kebanyakan masyarakat Jawa, bulan Suro atau dalam kalender Islam Muharram masih dianggap keramat (suci) atau sakral.
Dalam pandangan mereka, bulan Suro ini memiliki kekuatan magis yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
Bahkan, sebagian masyarakat Jawa mempercayai bahwa di bulan Suro Sangat tidak dianjurkan melakukan hal tertentu.
Seperti menyelenggarakan hajatan, pesta pernikahan, piknik, berpesta, atau membangun rumah.
Menggelar hajatan saat bulan Suro merupakan pantangan besar karena dianggap pamali bagi sebagian besar orang Jawa.
Tradisi dan kepercayaan akan kesakralan malam 1 Suro terus diproduksi melalui mitos-mitos secara turun temurun.
Tuturan dari mulut ke mulut oleh para orang tua, bahkan tak jarang kisah-kisah menyeramkan di layar lebar serta di layar kaca pun turut menyuburkannya.
Ada beberapa faktor yang menjadikan Malam Satu Suro begitu sakral dalam budaya Jawa.
Dilansir dari buku Misteri Bulan Suro karya Muhammad Solikin dan berbagai sumber lainnya berikut 4 fakta Malam Satu Suro:
1. Adanya Budaya Keraton
Salah satu faktor penting dalam menjaga kesakralan Malam Satu Suro adalah adanya budaya keraton.
Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta mengadakan upacara dan ritual dalam rangka memperingati hari-hari penting tertentu, termasuk Malam 1 Suro.
Malam ini dianggap suci dan penuh rahmat, serta menjadi waktu yang tepat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan membersihkan diri dari hawa nafsu melalui tirakat, lelaku, atau perenungan diri.
Salah satu bentuk penghormatan yang dilakukan adalah selamatan selama sepekan penuh tanpa henti.
2. Pertemuan Dua Dunia
Malam 1 Suro dipercaya sebagai waktu di mana dunia manusia dan dunia ghaib saling berjumpa.
Pengaruh magis bulan Suro membuat orang-orang Jawa percaya bahwa pada malam ini, pertemuan antara manusia dan makhluk gaib terjadi secara intens.
Karena pusaka-pusaka dicuci dan didoakan kembali, masyarakat merasa takut terhadap pertemuan dua dunia ini.
Bagi orang Jawa, ketakutan ini dianggap sebagai sanksi gaib akibat ketidakbaikan yang dilakukan selama satu tahun sebelumnya.
3. Bentuk dari Rasa Prihatin
Malam 1 Suro juga dipandang sebagai waktu untuk merenung dan menghormati leluhur.
Sultan Agung Hanyokrokusumo mencanangkan agar pada malam permulaan tahun baru, masyarakat harus merasa prihatin, tidak berbuat sesuka hati, dan tidak mengadakan pesta.
Sebagai bentuk penghormatan, benda-benda pusaka yang diwariskan harus dicuci dan dibersihkan, sejalan dengan penyucian spiritual individu.
Dari sinilah muncul keyakinan bahwa Malam 1 Suro adalah malam yang sakral.
4. Imbas Politik dan Kebudayaan
Malam 1 Suro yang dianggap sakral juga memiliki kaitan dengan faktor politik dan kebudayaan.
Pada masa Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Islam, terjadi kegagalan serangan terhadap VOC di Batavia pada tahun 1628-1629.
Salah satu penyebab kegagalan tersebut adalah perbedaan keyakinan yang ada di pasukan Mataram, yang terdiri dari berbagai agama.
Sultan Agung menciptakan sistem penanggalan Jawa yang mencerminkan kesakralan bulan Suro.
Dengan menciptakan penanggalan baru yang menggabungkan tahun Saka Hindu dan tahun Hijriyah Islam, Sultan Agung berharap dapat menyatukan kembali masyarakat dan pasukan di bawah bendera Kerajaan Mataram Islam.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, tidak mengherankan jika Malam Satu Suro terus dikeramatkan oleh masyarakat Jawa.
Keajaiban dan kepercayaan yang menghiasi budaya Jawa ini membuktikan betapa kuatnya pengaruh tradisi dan mitos dalam kehidupan sehari-hari. DIkutip dari suaramerdeka.com. (dra)